Mengembalikan LDK pada Khitahnya
Melihat realita hari ini ada eberapa agenda mendesak yang perlu dikedepankan pembahasannya di internal FSLDK dan LDK-LDK, hal ini didasarkan pada fenomena-fenomena kekinian yang memperlihatkan “melemahnya” peran dan gerak sy’iar dakwah kampus dibeberapa daerah-daerah Indonesia.
Pertama, mengeksplorasi permasalahan yang berkembang dan menjadi kendala bagi kemajuan LDK diwilayah, untuk menentukan skala prioritas pemenuhan kebutuhan bagi masing-masing LDK yang ada. Langkah selanjutnya yaitu penugasan kepada perangkat FSLDK untuk mempersiapkan strategi pendampingan terhadap LDK yang masih berada dalam tahap persiapan maupun permulaan. Hal ini sangat diperlukan dalam rangka penyamaan langkah perkembangan Islam yang dimulai dari gerakan intelektual kampus. Kedua, menyambut baik diterapkannya syari’at Islam dibeberapa daerah dan semakin menguatnya arus Islamisasi diberbagai lini secara parsial (melalui perda-perda, sekolah-sekolah Islam, dunia perbankan, ekonomi dan sebagainya), diperlukan sebuah perencanaan strategis yang terukur menuju model kampus yang Islami. Sehingga perwujudan lainnya akademis dan profesional muslim sejati bisa dilahirkan melaui kampus. Kajian-kajian bidang akademik dan riset keilmuaan serta penerapannya secara bertahap hendaknya mulai dilakukan, karena masyarakat saat ini tidak hanya membutuhkan pemahaman, tetapi yang lebih penting adalah implementasi nyata dari apa yang selalu kita suarakan.
Ketiga, memiliki kehidupan kampus yang kian dijerat oleh pragmentisme materi, hedonisme, dan pergaulan bebas, diperlukan langkah-langkah serius untuk menanggulanginya. Apabila tidak, akan terjadi fenomena melemahnya mental dan moral mahasiswa. Terserapnya mahasiswa kedalam mental dan moral budaya Barat dan kapitalisme global. Upaya- upaya sistematis untuk menghalau fenomena ini merupakan penguatan identitas dan kultur para aktivis dakwah kampus agar tidak ikut-ikutan tercemar seperti yang tergambar dalam melemahnya pergaulan antar ikhwan dan akhowat, millitansi, sifat kritis dan berbagai budaya yang bersifat laghwi (perkataan dan perbuatan yang sia-sia).
Keempat, semakin marak dan menjalannya kegiatan kristenisasi didalam kampus dan dimasyarakat umum dengan berbagai kedok dan cara. Perlu adanya penanganan yang intensif dan terfokus dari seluruh element umat Islam., lembaga keislaman, dan ormas-ormas Islam sehingga dapat memberikan pemahaman dan penanganan secara nyata terhadap hal tersebut. Butuh kerjasama dan jalinan komunikasi yang efektif dan efesien disetiap lini sehingga data dan fakta yang terjadi dapat lebih cepat diantisipasi dan ditangani.
Kelima, LDK perlu memperkuat syuro dan amal jama’i dilingkungan para aktifis dan masyarakat umum. LDK harus mengutamakan persaudaraan dan bergerak sinergis dengan berbagai komponen pergerakan mahasiswa, khususnya yang secara tradisional dilahirkan dan dibesarkan oleh LDK sendiri. Dalam sejarah panjang LDK yang sudah mengadakan ‘hajatan’ hingga FSLDKN ke XV yang diadakan di Ambon sebagai tuan rumahnya, ada metamorfosa dalam gagasan, organisasi, dan dinamika gerakan. Sepuluh tahun lebih FSLDK berjuang mencoba menata diri dan menyesuaikan aktivitas gerakannya dengan situasi zamannya. Dalam proses tersebut ada beberapa catatan yang perlu ditulis sebagai bahan kontemplasi, agar tidak gamang dalam memilih jalan dan tidak ragu memperbaiki bangsa ini serta sebagai awal untuk kembali kepada khitah perjuangan dakwah kampus.
Pertama, visi gerakan dan pragmatisme. Membentuk Kader Militan adalah tujuan dari proses kaderisasi yang dilakukan oleh LDK, atau Muslim Negarawan yang coba digaungkan oleh KAMMI. Kader Militan ataupun Muslim Negarawan hendaknya harus mulai tercermin dari kader-kader LDK dan KAMMI itu sendiri, terutama dijajaran para pemimpinnya. Bagaimana mungkin ide dan gagasan ini dapat tersosialisasi dan membumi dimasyarakat kalau penggagasnya justru jauh dari sosok seorang pribadi muslim. Sehingga wajarlah, ketika kalimat-kalimat ikhuwah islmiyah, amal jama’i, utamakan kuliah dahulukan dakwah hanya menjadi slogan belaka tanpa ada ruh kekuatan yang mampu mencerminkan itu semua. Ditengah-tengah menjalarnya pragmatisme gerakan mahasiswa, seharusnya kader atau pemimpin dapat menjadi teladan dalam aspek moral gerakan dengan menjaga idealisme khitaah gerak juang dan orientasi gerakan. Jangan sampai LDK justru larut dalam budaya pragmatisme gerakan dengan menghalalkan segala cara. LDK harus memiliki dhawabit (kerangka) moral dan etika dalam gerak juangnya. Ini diperlukan agar ijtihad setiap pemimpin LDK dalam menjalankan roda organisasi dan komunikasi tidak sampai menimbulkan ekses negative pribadi dan organisasi.
Kedua, komunikasi dan eksekusi gerakan. LDK harus menjadi organisasi yang terbuka (inklusif) bukan tertutup (eksklusif) serta dapat berkomunikasi dengan siapa pun dan ideology apa pun. Namun, dalam membangun komunikasi ini harus diawali dengan posisi yang jelas dan konsep yang kuat. Sehingga diharapkan gagasan-gagasan tersebut bisa menjadi gagasan bersama dalam konstribusi perbaikan bangsa dan negara. Hendaknya, bagi LDK komunikasi yang terbangun dengan pihak lain bukan sebagai alat untuk mempercepat mobilisasi vertical para pemimpinnya, tetapi lebih pada menjalankan fungsi da’i (penyeru pada kebenaran). Bargaining position LDK adalah visi gerakan dan kebenaran. Jangan justru agenda-agenda orang lain masuk dan menjadi agenda-agenda kita dan jangan sampai LDK menjadi kendaraan pihak lain dalam mewujudkan ambisi-ambisi pribadi, jika hal ini sudah terjadi maka LDK tidak lebih dari sebuah event organizer raksasa yang bekerja tergantung order.
Ketiga, LDK belakangan ini mewacanakan suksesi kepemimpinan dan regenerasi serta penokohan kadernya. LDK adalah sebuah gerakan yang tingkat pertumbuhannya sangat pesat, baik dari jumlah aspek kader maupun structural. LDK akhir tahun 2008 lalu dengan lingkup Nasional mengadakan pertemuan di Universitas Indonesia merumuskan konsep untuk membangun jaringan diluar negeri dengan konsep ‘FSLDK go Internasional’. LDK adalah organisasi besar yang memiliki manhaj kaderisasi yang cukup jelas dan lengkap, namun masih perlu perbaikan disisi implementasi. Perlu evaluasi kritis dalam proses regenerasi kepemimpinan di tubuh FSLDK. Karena regenerasi kepemimpinan bukan hanya faktor kederisasi, tetapi juga menyangkut bagaimana alur pemberdayaan kader di organisasi. Harus ada keseimbangan anatra kualitas kader dan mekanisme pemnberdayaanya. Jangan sampai ada kader yang punya ‘pangkat’ banyak, tetapi disisi lain ada kader yang ‘nganggur’.
Keempat, proses tourits (pewarisan) juga menjadi hal yang penting dalam regenerasi. Kader-kader yang potensial harus dipastikan mendapat pewarisan fikroh dan manhaj yang benar dan lurus dari pendahulunya, sehingga bangunan peradaban yang akan dibangun FSLDK bisa terus berlanjut, tidak selalu memulai dari nol. Krisis tourist inilah yang cukup memprihatinkan. Oleh sebab itu, wadah alumni LDK sepertinya harus bisa terealisasi pada forum-forum nasional untuk dibicarakan konsep dan teknisnya. Kosistensi agenda dan momentum. Salah satu kekuatan gerakan mahasiswa adalah kosistensi isu gerakan yang tergantung dengan ideologi dan visi gerakan. FSLDK seharusnya memiliki isu yang konsisten sebagai buah dari ideologi dan visi gerakan.
Mengakhiri tulisan ini, paling tidak sebagai solusi awal ada tiga pokok pemikiran tentang format baru dakwah kampus menurut saya yang perlu dikembangkan, pemikiran ini lahir dari perspektif peran kampus terkait dengan pronyek rekonstruksi negara madani dengan mempertimbangkan asumsi pergeseran lingkungan strategis akibat transisi sosial serta beberapa realita dikalangan ADK. Akselerasi kelulusan aktivis dakwah kampus yang kompetitif. Proyek rekonstruksi negara madani adalah proyek yang kompleks, karena waktu yang lama serta kebutuhan resources yang tidak sedikit. Dibutuhkan sebuah lumbung SDM yang mampu membentuk sebuah lapisan sosial yang terdiri dari da’iyah dengan kompetensi tinggi serta memiliki militansi untuk melakukan transformasi nilai-nilai rabbaniyah, baik secara struktural maupun cultural.
Lapisan sosial itu memiliki dua fungsi yaitu : Pertama,, adalah sebagai basis yang mapan bagi proses mobilitas vertikal para ADK untuk masuk kedalam pusat-pusat pengambilan keputusan strategis, sebab pada kenyataannya tidaklah mungkin melakukan ishlalul hukumah seorang diri. Tidak mungkin seorang ADL menjadi tokoh publik, dan melakukan transformasi nilai-nilai rabbaniyah seorang diri. Dia membutuhkan dukungan dari berbagai kalangan dengan tingkat kompetensi yang tinggi. Kedua, adalah sebagai basis bagi lahirnya kandidat-kandidat calon pemimpin ummat yang maju dalam mimbar pemimpin mulai dari tingkat daerah hingga nasional, mulai dari suksesi kepemimpinan formal maupun nonformal. Jangan sampai ummat ini selalu ditimpa krisis calon pemimpin. Lapisan sosial itu sebagai kelas menengah muslim. Tanpa eksistensi lapisan sosial ini yang berkelanjutan, sulit membayangkan nasib dan proyek rekonstruksi negara madani. Dalam konteks inilah kita menempatkan dakwah kampus, dimana ia harus segera melakukan akselerasi kelulusan aktivisnya. Aktivis dengan seluruh kelengkapan fikrah, aqidah, suluk dan manhaj.
Memiliki kompetensi dan bermental petarung, sebab posisi-posisi strategis di masyarakat tidak ada yang gratis. Untuk setiap kelompok sosial dari kelas menengah, harus ada pertumbuhan yang signifikan setiap tahunnya. Artinya, dakwah kampus harus memberikan iklim yang kondusif bagi lahirnya para calon pedagang, intelektual, birokrasi dan professional. Jangan sampai ada aktivis dakwah kampus, yang setelah lulus luntang-lantung karena tidak mampu bersaing dilapangan kehidupan. Ketiga, dakwah kampus harus memiliki jaringan keorganisasian pasca kampus. Ada tiga jenis organisasi dalam suatu negara, tempat dimana sektor-sektor kehidupan negara dikelola. Yaitu organisasi publik (birokrasi), organisasi private (perusahaan), dan organisasi nirlaba (Ormas, LSM atau Asosiasi Profesi). Kelak para ADK akan terserap dan ditantang untuk berkiprah di ketiga sektor tersebut. Sebagai kader yang mengemban misi dakwah, ADK dituntut utnuk mampu berkiprah dan mengarahkan ketiga organisasi itu merekonstruksi Indonesia menjadi negara Madani. Artinya, mereka harus memiliki pengaruh dan magnet sehingga seluruh sektor kehidupan negara dapat berjalan kearah yang lebih baik dengan mengabsorbsikan nilai-nilai ketuhanan. Untuk dapat mencapai itu semua tentu saja bukan perihal mudah, butuh waktu untuk membuktikan integritas, kredibilitas, dan kompetensi ADK sebagai orang layak menempati dan bersaing dikesemua sektor tersebut.
Keempat, dakwah kampus harus mampu menumbuhkan semangat kewirausahaan dan penguasaan teknologi. Kemandirian ekonomi adalah salah satu ‘mata kuliah’ yang harus dilalui oleh Rasulullah saw pada masa-masa persiapan hingga menerima amanah Risalah Kenabian. Beliau mulai mengenal aktivitas kewirausahaan semenjak dini, yaitu ketika berusia 12 tahun, saat ia mengikuti kafilah dagang yang dipimpin Abu Thalib ke negeri Syam.
Menurut Al Buthy, ada dau pelajaran yang tersurat didalam kisah diatas. Pertama, menjaga integritas dan kredibilitas gerakan, “dakwahnya tidak akan dihargai orang manakala mereka menjadikan dakwah sebagai sumber rezekinya”. Tentunya kita menginginkan agar seruan dakwah ini selalu dihormati, disegani, dan didengar oleh ummat, sehingga dapat mengarahkan proses transformasi sosial kearah nilai-nilai ketuhanan. Namun, ketika ummat tidak lagi menghargainya, maka niscaya ia gagal dalam mengarahkan ummat. Kedua, menjaga independensi gerakan. “agar kita tidak nerhutang budi kepada seorang pun, yang dapat menghalangi dari menyatakan kebenaran dengan argumentasi adanya investor budi”. Pengguliran perubahan menuju negara madani, tidaklah mudah dimana pasti ada kekuatan status-quo yang tidak menghendaki perubahan. Mereka ingin agar Indonesia tetap berkubang dalam nilai-nilai jahiliyah.
Dalam era kompetensi ini, terjadilah sinergi yang beragam. Dibawah pengaruh politik setiap negara ia dibentuk. Politik negara yang dapat membangun sinergi positif antara ekonomi dan teknologi akan membuat negara-negara tersebut akan stabil dalam berbagai aspek. Namun, negara-negara yang gagal membangun sinergi antara kedua sektor tersebut dalam balutan kebijakan politiknya, akan menimbulkan proses kontradiktif yang membahayakan stabiliotas nasional. Ancaman disintegrasi bangsa mudah tampil dalam kehidupan negara tersebut. Meskipun kelak tidak semua ADK menjadi wirausahawan, namun cita-cita dan nilai-nilai seorang wirausahawan harus tetap terbawa selama hidupnya.
Wallahu A’lam Bishawwab.
sumbaer: LDK UNILA
0 comments:
Post a Comment